2024-11-27
3:58 PM
Beranda Respati Wikantiyoso
Site menu |
Login form |
Sugar ticket oz
Since December 1st 2009
Search |
Calendar | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
Entries archive |
Our poll |
Site friends |
Statistics |
Total online: 1 Guests: 1 Users: 0 |
Create Your Badge
5:41 AM PERAN PERENCANAAN DAN PERANCANGAN KOTA DALAM UPAYA MITIGASI DAMPAK GEMPA BUMI (1) |
ABSTRAK
Kata kunci: Mitigasi, perencanaan dan perancangan kota Pengantar Topik makalah ini sengaja saya pilih setelah melihat banyaknya korban meninggal pada bencana gempa bumi yang beberapa tahun terakhir terjadi khususnya di Indonesia. Dengan latarbelakang pendidikan bidang Arsitektur dan Urban and Regional Planning, saya mencoba untuk membuat suatu abstraksi tentang pentingnya mengantisipasi dampak sekundair Gempa Bumi melalui produk Perencanaan dan Perancangan Kota dalam rangka merencanakan kota yang aman (Panning and Design for Safe City). Korban gempa bumi terbesar (75 % lebih) terjadi di wilayah perkotaan sehingga penting untuk dipahami bahwa ada kaitan yang erat antara besar kecilnya kerusakan kota akibat gempa bumi dengan perencanaan kotanya. Menurut Germen, Aydine (1980), Perencanaan kota dan wilayah dapat memberikan sumbangan dalam mencegah dan mengurangi banyaknya korban gempa, dengan menerapkan prinsip-prinsip perencanaan dan perancangan kota yang memperhatikan aspek-aspek geophysic, tektonic, structural engineering, relief and rehabilitations operations, dan penanganan masalah sosial. Hal ini sebenarnya merupakan jawaban pemikitan atas salah satu pertanyaan dari Duabelas Pertanyaan Besar Untuk Kobe dan Sesudahnya (Welker. P., 2005), yang berkaitan dengan bagaimana meminimalisir/mengurangi korban bencana di kota-kota besar. Merencanakan dan merancang kota yang aman dan bebas dari ancaman bencana alam merupakan kriteria yang harus diperhatikan dalam perencanaan dan perancangan kota, sebagai upaya mitigasi dampak bencana. Tujuan dari pemaparan ini adalah untuk memberikan pencerahan baru, stimulus baru, dengan memberikan beberapa alternatif pemanfaatan beserta konsekuensinya dalam menciptakan ruang kota, serta memberikan gambaran tentang pentingnya aspek regulasi dalam perencanaan dan perancangan kota dan/atau bangunan. Latar Belakang Pertumbuhan penduduk kota-kota besar di dunia telah melampaui kemampuan daya dukung ruang kota (ground level), sehingga kota dikembangkan secara vertikal (uper ground). Bahkan menurut Shinya (2002) kota sudah tumbuh ke atas (overground space) dan ke bawah (underground space). Sehingga mulai abad ke-20 mulai dikembangkan bangunan pencakar langit, bangunan tinggi dan underground. Pengembangan ruang kota ke atas dan ke bawah menjadikan pemanfatan ruang kota lebih efektif (Shinya,2002). Optimalisasi pemanfaatan ruang kota ke atas (skyscrapers and high-rise building) dan ke bawah (underground space) membawa implikasi kepada tuntutan teknologi konstruksi, teknologi bangunan, maupun upaya-upaya penyiapan masyarakat. Walaupun underground space di Indonesia belum populer dan banyak dikembangkan, fenomena ini patut menjadi bahan diskusi, berkaitan dengan peluang dan tatantangan pengembangannya di Indonesia. Pengembangan ke bawah (underground) menurut Athushi (1997), memiliki banyak kriteria dalam perencanaan dan perancangannya, berkaitan dengan aspek keamanan (safety requirements) yang berbeda dengan perencanaan dan perancangan di aboveground. Walaupun demikian menurutnya underground facilities lebih aman dalam menahan gempa bumi dibandingkan dengan bangunan di aboveground (Athushi, 1997: pp.4-6). Sehingga untuk daerah yang memiliki frekwensi dan kekuatan gempa yang relatif tinggi seperti di Jepang, underground spaces ini relatif berkembang. Teknologi struktur bangunan beserta persyaratan-persyaratan keselamatan bangunan merupakan salah satu hal yang harus diperhatikan dalam upaya "mempersiapkan” ruang yang aman dan melindungi masyarakat kota. Urban landscape sebagai konfigurasi ruang kota dengan unsur bangunan tinggi, kepadatan bangunan, keberadaannya menjadi penting untuk mengurangi jumlah korban akibat gempa. Penataan urban landscape ini juga bertujuan untuk memberikan ruang untuk evakuasi, serta ruang penyelamatan korban gempa (Ishikawa, 2002). Illustrasi di atas secara gamblang dapat dipahami bahwa sebenarnya kondisi pemanfaatan ruang kota dengan berbagai persyaratan "keselamatan” publik dari gempa bumi, menuntut perlunya perencanaan dan perancangan kota (Planning and Design for Safe City) yang komprehensif. Kejadian-kejadian gempa bumi di Indonesia sudah semetinya menjadi perhatian kita semua untuk mereview kembali apakah upaya-upaya mitigasi dampak bencana (gempa bumi) sudah menjadi pertimbangan dalam proses perencanaan dan perancangan kota-kota kita. Best practices beberapa Negara dalam "mempersiapkan kembali” pranata regulasi bidang perencaan dan perancangan kotanya kiranya perlu dipelajari. Ada dua macam upaya mitigasi yakni, mitigasi struktur dan mitigasi non struktur. Mitigasi struktur adalah upaya dalam bentuk memperkuat bangunan dan/atau infrastruktur yang berpotensi terkena bencana, seperti membuat desain rekayasa, dan konstruksi untuk menahan serta memperkokoh struktur ataupun membangun struktur bangunan penahan gempa dan sebagainya. Upaya mitigasi non struktural dilakukan dengan cara menghindari wilayah bencana dalam merencanakan dan merancang bangunan. Perlu dilakukannya perencanaan tata ruang dan wilayah yang komprehensif. Selain itu perlu dilakukan upaya mitigasi lingkungan alam non struktural diantaranya yakni tidak mengubah lingkungan alam yang dapat melindungi terhadap bencana seperti karang pantai, bukit pasir pantai, danau, laguna, hutan dan lahan vegetatif, kawasan perbukitan karst dan unsur geologi lainnya yang dapat meredam dan mengurangi dampak bencana. Upaya pemanfatan ruang kota melalui planning and design dalam rangka menciptakan setting kota yang aman merupakan salah satu upaya mitigasi dampak bencana. Produk perencanaan dan peracangan kota, dengan berbagai produk pemanfaatan ruang (aboveground, underground spaces, urban landscape) sebenarnya merupakan bentuk regulasi (kebijakan publik) yang harus ditaati oleh semua aktor pembangun, (arsitek, perancang struktur, urban planner, dan urban designer, investor, serta aparat birokrasi). Peraturan tata ruang dan peraturan bangunan (building codes) memiliki posisi sangat strategis dalam menentukan produk perancangan kota dan/ atau bangunan yang aman bagi penggunanya. Ketaatan terhadap pelaksanaan peraturan-peraturan bangunan yang ketat berkaitan upaya mitigasi dampak gempa merupakan prasyarat utama yang harus dilakukan. Fenomena Gempa Bumi Planet bumi mempunyai struktur tertentu, yaitu kerak bumi, lapisan selubung, dan inti bumi yang dapat memicu terjadinya dinamika dari bagian dalam bumi yaitu tektonik dan vulkanik. Dinamika ini memberi dampak pada banyak hal, antara lain pergeseran kerak bumi yang berakibat pembentukan berbagai jenis pegunungan dan cekungan sedimen. Fenomena pergeseran kerakbumi, pertemuan (tumbukan lempeng), serta peristiwa vulkanik dapat menyebabkan terjadinya gempa. Gempa merupakan akibat dari terjadinya perubahan yang terus menerus dari planet bumi, yang terutama dikendalikan oleh proses-proses endogenik dan eksogenik. Sejak 4.000 tahun yang lalu hingga kini, Gempa bumi telah memakan korban lebih dari 13 juta jiwa, yang sebagian besar berada di wilayah perkotaan. Selama dua decade terakhir, walaupun angka kematian karena bencana dan jumlah tahun bencana telah menurun sekitar 30 %, tetapi jumlah penduduk yang terkena dampak gempa telah meningkat hingga 50% (Walker dan Wisner, 2005). Menurut Prof. Sampurno, kerusakan berat akibat gempa bumi terjadi pada wilayah yang berada atau berdekatan dengan wilayah seismic dan "Sabuk Api”.Negara-negara yang sering dilanda gempa bumi di antaranya India, Pakistan, Iran, Cina, Jepang, Venezuela, Meksiko, Filipina, Indonesia, Amerika Serikat, serta beberapa negara di Afrika dan Eropa Timur. Kerugian terbanyak terjadi akibat dari besarnya getaran yang menyebabkan runtuhnya bangunan dengan struktur yang lemah. Peristiwa likuifaksi juga mengakibatkan amblasnya bangunan, miring, dan melongsor, seperti yang terjadi di Niigata, Jepang dan di Maumere, Indonesia, tahun 1994. Perilaku gempa (jalur seismic, titik pusat gempa, serta kecenderungan pergeseran kulit bumi), secara makro harus dipahami untuk kepentingan meminimalisir dampak kerusakan bangunan dan/atau kota akibat terjadinya gempa. Beberapa kasus bencana gempa bumi di perkotaan korban jiwa terbesar diakibatkan oleh terjadinya ”keruntuhan” bangunan pasca guncangan gempa, serta karena kebakaran sebagai akibat sampingan. Kondisi ini jelas menjadi perhatian bagi para pakar baik dari akademisi maupun praktisi, untuk memberikan sumbangan pemikiran guna memperkecil jumlah korban jiwa akibat bencana gempa bumi. Pemikiran-pemikiran tentang sistem peringatan dini, perencanaan dan perancangan kota (planning for safe city), penggunaan material, disain dan rekayasa bangunan tahan gempa, menjadi isue yang menarik untuk didiskusikan. Menurut Prof. Sampurno, kerugian terbesar akibat bencana gempa di kota dikarenakan perencanaan tata ruang dan wilayah yang tidak tepat. Mitigasi dampak bencana sangat perlu diperhatikan tentang karakter dari kejadian bencana seperti sifatnya yang mendadak, transien yang ditandai gejala awal, gejala utama, gejala akhir serta susulan, dan bencana yang akan terjadi berulang meskipun waktunya belum dapat ditentukan. Faktor-Faktor Pengaruh Efek Gempa Besar kecilnya kerusakan dan/atau korban akibat bencana Gempa di perkotaan sebenarnya merupakan efek sekundair dari kejadian Gempa bumi. Seperti kita ketahui bahwa kejadian gempa akan memberikan efek langsung (direct effect) dan efek sekunder (secondary effect) . Efek langsung kejadian gempa bumi biasanya terjadi pada daerah yang relatif dekat dengan pusat gempa, seperti patahan, lipatan lapisan (lempengan bumi), beberapa gempa tidak juga menimbulkan kerusakan di bagian permukaan tanah. Kejadian Gempa di Hyogo-Ken Nanbu, Jepang (18 Januari 1995) terjadi di daerah rural pulau Awaji dengan penurunan tanah lebih dari 3 meter. Kejadian seperti ini biasanya menyebabkan kerusakan infrastruktur yang berada di dekatnya seperti, jalan, saluran irigasi, saluran distribusi minyak/gas dan lain-lain. Variasi kerusakan akibat bencana gempa bumi dipengaruhi oleh beberapa faktor, yang secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua, yakni faktor alam dan faktor buatan (perencanaan dan perancangan bangunan dan/atau kota). Sebagian besar kerusakan akibat gempa bumi lebih banyak disebabkan karena efek sekunder gempa. Efek sekunder terjadi karena adanya gerakan susulan yang dapat mencapai pada wilayah yang lebih luas, yang menyebabkan kerusakan yang relatif besar. Menurut J. Louie (1996), Efek sekundair ini antara lain: seismic shaking (goncangan); landslides (pergeseran tanah); liquefaction; fissuring; settlement (penurunan tanah); and the triggering of aftershocks dan gempa susulan (additional earthquakes). Efek gempa (baik langsung maupun sekunder) dipengaruhi oleh beberapa faktor yakni:
Perencanaan dan Perancangan Kota Perencanaan Kota merupakan perencanaan fisik yang terpadu, karena perencanaan kota mempunyai aspek yang sangat kompleks menyangkut aspek sosial-budaya, ekonomi, dan politik dalam satu kesatuan wilayah fisik (ruang kota). Dengan demikian rencana kota merupakan rencana yang disusun dalam rangka pengaturan pemanfaatan ruang kota, yang menyangkut masalah kebutuhan atau kepentingan yang saling terkait dalam pemanfaatan sumber daya (ruang kota) yang sudah sangat terbatas; serta keterkaitan antara satu peruntukan dengan peruntukan lain sesuai dengan kapasitas infrastruktur yang menunjang peruntukaan-peruntukan tersebut (respati, 2005: 33). Berkaitan dengan hal di atas, maka aspek pemanfaatan ruang kota yang effektif merupakan pertimbangan utama, bagimana aspek-aspek kehidupan kota (alamiah dan sosial ekonomi) dapat diakomodasikan dalam penatan ruang. Perencanaan mempunyai obyek yang direncanaan yang menyangkut public domain; perencanaan merupakan aktifitas yang multidisiplin, terintegrasi dan merupakan proses yang sistematis (mengunakan metode tertentu); Perencanaan mengandung tujuan, Kebijaksanaan, Rencana, Prosedur serta Program-program. Kebijaksanaan perencanaan yang menyangkut peruntukan ruang kota (tanah), akan membawa konsekensi terhadap perencanaan kota. Keputusan perencanaan akan mempunyai dampak yang sangat kuat terhadap keseluruhan konteks fisik, sehingga dalam memutuskan suatu bentuk rencana harus melalui pertimbangan yang komprehensif. Peran perencanaan kota dalam upaya mitigasi dampak gempa bumi sangat penting dalam rangka "melindungi” dan memberikan rasa aman masyarakat dari ancaman bahaya gempa bumi. Menurut Ishikawa (2002), Penataan urban landscape ini juga bertujuan untuk memberikan ruang untuk evakuasi, serta ruang penyelamatan korban gempa. Penataan ruang melaui penataan konfigurasi ruang kota dengan unsur bangunan tinggi (skycraper, high rise building), kepadatan bangunan, serta ruang terbuka, keberadaannya menjadi penting untuk mengurangi jumlah korban akibat gempa. Perancangan kota pada hakekatnya merupakan pengelolaan kawasan kota yang terpadu, yang bertujuan untuk mengupayakan terbentuknya perangkat pengendali (urban regulation) yang mampu mengantisipasi semua aspek perkembangan kota, yang merupakan solusi atas konstrain dan kendala lingkungan alam dan buatan. Menurut Hamid Shirvani (1985), dalam bukunya The Urban Design Process, perancangan kota adalah merupakan bagian dari proses perencanaan yang berkaitan dengan perancangan fisik dan ruang suatu lingkungan kota yang ditujukan untuk kepentingan umum. Apabila ditinjau dari unsur pembentuk kota pada hakekatnya substansi urban design sebenarnya akan menyangkut 3 unsur pokok yaitu; a) Faktor lingkungan alam, karakteristik alam merupakan unsur dasar yang akan memberikan karakteristik yang spesifik suatu kawasan/kota. Faktor alam ini mencakup; iklim, topografi, seismocity, geomorfologi, aliran, kelembaban, suhu udara, flora-fauna dan sebagainya. b) Faktor lingkungan buatan, kondisi-potensi lingkungan buatan sebagai produk budaya masyarakat yang telah membentuk lingkungan yang spesifik perlu menjadi suatu pertimbangan sebagai satu kesatuan produk aktifitas masyarakat. c) Faktor lingkungan nonfisik, kehidupan sosial-budaya, ekonomi, politik dan teknologi, sebagai faktor yang melatar belakangi terbentuknya lingkungan binaan manusia. Ketiga faktor tersebut merupakan satu kesatuan yang saling pengaruh mempengaruhi. Lingkungan alam akan menentukan struktur dan pola kota yang spesifik, sebagai cerminan pola perilaku dan tata nilai sosial-budaya, ekonomi dan politik yang melatar belakanginya. Produk perancangan kota menurut Hamid Shirvani (1985), meliputi Kebijakan, Rencana, Pedoman, dan Program. Kebijakan perancangan kota merupakan kerangka strategi pelaksanaan yang bersifat spesifik. Perkembangan kota-kota besar dunia sebagai konsekwensi dari adanya peningkatan jumlah penduduk perkotaan, menyebabkan dibeberapa kota besar dunia melakukan pengembangan kota ke atas (aboveground space) dan ke bawah (underground space) permukaan tanah. Dengan tetap mengacu kepada upaya mitigasi dampak gempa, maka pemanfaatan ruang (baik aboveground maupun underground) perlu mempertimbangkan fungsi, maupun kelebihan dan kekurangan dari kedua karakteristik model ruang tersebut. Berkaitan dengan peluang pengembangan underground space, sebagai alternatif peningkatan efektifitas ruang kota, Japan National Land Policy Institute Perancangan underground space, sebagai salah satu upaya "peningkatan” daya dukung lahan, memberikan peluang untuk melakukan penyesuai dan pengaturan fungsi-fungsi kota di ground level. Kepadatan bangunan, konfogurasi ruang terbuka, serta penataan urban landscpe di permukaan tanah (grond level) menjadi lebih leluasa, dan dapat meningkatkan kinerja lingkungan alam melalui pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau (RTH). Dengan berbagai kelemahan yang dimiliki oleh underground space berkaitan upaya penyelamatan terhadap bencana, diperlukan persyaratan (peraturan perancanganya) yang sangat ketat terhadap upaya mitigasi dampak gempa di underground space. Walaupun menurut Athushi (1997) secara umum underground space (dari beberapa kejadian gempa yang telah terjadi) lebih mampu bertahan terhadap gempa bumi, dengan kerusakan yang lebih ringan dibanding dengan aboveground structure. Pengamanan dalam perancangan underground space secara umum dapat dikategorikan menjadi 2 yakni; 1. Persyaratan keamanan underground space untuk penggunaan/kondisi normal; persyaratan struktur bangunan, lebar minimal jalan, ramp/slopes, ketingian langit-lagit untuk memberikan keamanan dan kenyamanan pengguna. termasuk dalam penyediaan fasilitas penerangan, sistem tanda, ventilasi dan sistem utilitas/sanitary. 2. Persyaratan keamanan underground space untuk kondisi darurat; untuk mengantisipasi bencana alam (gempa bumi) dan/atau bencana karena kelalian manusia (kebakaran, teror dsb). Mitigasi dampak gempa bumi pada perancangan underground space, menjadi persyaratan utama khususnya di Jepang. Selain itu juga diperhatikan ancaman banjir, kebakaran, maupun ledakan. Kerusakan akibat kebakaran pasca bencana gempa di beberapa tempat menyebabkan kerusakan yang serius, sehingga upaya-upaya penanggulangannya harus menjadi prioritas. Upaya mitigasi dampak gempa bumi melalui perencanaan dan perancangan kota dan bangunan harus didukung oleh perangkat peraturan dan kebijakan pemerintah kota dan pusat yang berkaitan dengan perlindungan masyarakat dari bahaya gempa. Berkaitan dengan hal ini jika mengacu pada perkembangan perencanaan dan perancangan kota di negera-negara maju, serta komitment terhadap perlindungan kehidupan masyarakat yang tinggi dalam upaya mitigasi dampak gempa bumi, perlu dilakukan reformasi terhadap peraturan/persyaratan perencanaan dan perancangan kota dan/atau bangunan. Tujuan utama perlindungan masyarakat adalah untuk mengurangi korban jiwa, korban luka2, kehilangan harta benda, kerusakan lingkungan, gangguan social dan ekonomi sebagai akibat bencana alam. Mitigasi struktur dan non-struktur hanya bisa dilakukan dengan didukung dengan kelengkapan perangkat peraturan bangunan (building codes). Di beberapa tempat seperti San Fransico, dan Jepang misalnya, dilakukan pengetatan dan revisi peraturan bangunan dan persyaratan bangunan berkaitan dengan ancaman bencana alam, khususnya gempa bumi. Catatan Penutup Pada bagian akhir tulisan ini saya sengaja saya tidak membuat suatu simpulan, untuk lebih membuka diskusi atas isue yang saya sampaikan. Semoga ilustrasi di atas dapat memberikan gambaran kepada kita tentang kedalaman dan pentingnya perangkat peraturan bangunan (building codes) dalam rangka mengkawal dan mengimplementasikan produk-produk perencanaan dan perancangan kota. Kiranya perlu kita melakukan perbandingan dengan produk-produk perencanaan dan perancangan kota-kota kita. Mudah-mudahan uraian yang relatif singkat dalam makalah ini dapat memberikan pencerahan baru, stimulus baru, pemahaman alternatif pemanfaatan ruang kota beserta konsekensinya dalam menciptakan ruang kota, serta memberikan gambaran tentang pentingnya aspek regulasi dalam perencanaan dan perancangan kota dan/atau bangunan dalam upaya mitigasi dampak bencana gempa bumi. Athushi Shimokobe and Hideo Ichiwatari (1997), Underground Space Use in Japan, Japan; National Land Policy Institute. Germen, Aydine (1980), Earthquake sciences and City Planning are Still Disconected, Ishikawa, Mikiko (2002), Landscape Planning for a Safe City, Annals Geophysics Journal, Vol. 45 N. 6, December 2002 (p. 833-841). J. Louie (1996), Earthquake effects in Kobe. Welker, Peter dan Ben Wisner (2005), Duabelas Pertanyaan Besar Untuk Kobe dan Sesudahnya. Shinya, Hashizume (2002), A Pleasant Environment, Underground, Japan: dalam NIPPONIA No.23 December 15, 2002 Shirvani, Hamid (1985). The Urban Design Process. New York: Van Nostrand Reinhold Co. Respati Wikantiyoso (2005), Paradigma Perencanaan dan Perancangan Kota, Malang: GKAK, jurusan Arsitektur Unmer Malang ISBN: 979-9488-07-9. Respati Wikantiyoso (2007), Perencanaan dan Perancangan Kota sebagai Panduan Pengembangan Kota (Antara Idealisme dan Ketaatan Implementasinya), Disampaikan pada Pengukuhan Guru Besar Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik Universitas Merdeka Madang, 27 Januari 2007. [1]Makalah dipersiapkan untuk Seminar Nasiona; Menuju Penataan Ruang Perkotaan yang Berkelanjutan, Berdaya Saing dan Berotonomi. Ruang seminar Gedung Rektorat ITS Lt.3, Kamis 29 Oktober 2009. [2]Guru besar bidang Arsitektur kota, Dosen Jurusan Teknik Arsitektur Universitas Merdeka Malang |
|