Welcome Guest
Wednesday
2024-11-27
3:25 PM

Beranda Respati Wikantiyoso

Site menu
Login form



Your Visitors Number:


Sugar ticket oz

Since December 1st 2009

Search
8
Calendar
«  October 2009  »
SuMoTuWeThFrSa
    123
45678910
11121314151617
18192021222324
25262728293031
Entries archive
Our poll
Rate my site
Total of answers: 37
Site friends
  • Create your own site
  • Statistics

    Total online: 1
    Guests: 1
    Users: 0
    Local Wisdom

    Create Your Badge


    BARU TERBIT


    BUKU BARU: LOCAL WISDOM
    Baca Kata Pengantar

    'City is not a Problem, City is Sollution'(Jaime Lerner)







    Web Badan Pengembangan dan Penaminan Mutu Unmer
    Main » 2009 » October » 29 » BUDAYA HEDONISME DAN PENYIKAPAN IPTEK
    8:46 PM
    BUDAYA HEDONISME DAN PENYIKAPAN IPTEK

    Pengantar


     Fenomena yang terjadi dalam kehidupan masyarakat Indonesia saat ini oleh beberapa pihak dinilai sedang terjadi suatu krisis multi dimensi. Dalam berbagai bidang, tatanan sosial, budaya, ekonomi, politik maupun pengelolaan lingkungan seakan menjadi antiklimak dari keadaan yang selalu digambarkan oleh pendahulu kita bahwa Indonesia sebagai negara yang "subur makmur, titi tata tentrem, gemah ripah loh jinawi, subur kang sarwo tinandur”. Ungkapan tersebut sekarang hanya sering terdengar dalam "suluk” pewayangan yang diucapkan oleh dalang dalam memberikan gambaran suatu kerajaan yang makmur. Makna yang terkandung pada ungkapan tersebut tidak lain adalah suatu "harapan” tatanan kehidupan yang selalu didambakan oleh semua insan manusia dalam tujuan hidupnya. Kemerosotan tatanan sosial-budaya, ekonomi dan politis yang telah menyebabkan krisis multi dimensi ini, terjadi karena tidak adanya suatu "keseimbangan” antara keinginan (dimensi material) dengan moralitas (dimensi spiritual) dalam pencapaian tujuan hidup manusia secara individual.
    Hedonisme seakan telah menjadi suatu "gaya hidup” yang mendasari perilaku sebagain besar manusia. Adalah filsuf Epicurus (341-270 SM) yang memopulerkan paham hedonisme, suatu paham yang menganggap kesenangan dan kenikmatan materi adalah tujuan yang paling utama dalam hidup. Filsafatnya dititikberatkan pada etika yang memberikan ketenangan batin. Kalau manusia mempunyai ketenangan batin, maka manusia mencapai tujuan hidupnya. Tujuan hidup manusia adalah hedone (kenikmatan, kepuasan). Ketenangan batin diperoleh dengan memuaskan keinginannya. Manusia harus dapat memilih keinginan yang memberikan kepuasan secara mendalam. Hedonisme sebagai suatu "budaya” yang meletakkan dimensi kepuasan materi sebagai suatu tujuan utama memicu dan memacu pemanfaatan alam dan atau melakukan aktivitas hidup yang jauh dari dimensi spiritual (moralitas).
    Beberapa bencana yang melanda Indonesia termasuk bencana alam yang belakangan ini terjadi, banjir bandang, tanah longsor dan sebagainya merupakan suatu akibat "keserakahan” atau akibat "pemuasan” keinginan individu dan atau kelompok masyarakat tanpa memeperhatikan dampak lingkungan dalam pemanfaatannya. Kesadaran akan nilai-nilai etika dan moralitas yang rendah dalam mencapai tujuan hidup memberikan kepuasan sesaat, dan dampak negatif yang berjangka panjang.
    Menurut filsuf Aristipus of Cyrine (435-366 SM), sesungguhnya kesenangan merupakan rasa dari watak yang lemah lembut dan merupakan tujuan yang sebenarnya dari kehidupan. Semua kesenangan nilainya sama, tetapi berbeda dalam tingkat lamanya, kesenangan harus dikendalikan oleh akal. Pengendalian melalui mekanisme pemikiran (akal) tidak lain adalah usaha "rasionalisasi” keadaan yang didasarkan atas upaya penyesuaian antara keinginan sebagai tujuan dengan penyesuaian melalui pendekatan moral/etika terhadap nilai-nilai sosial dan spiritual. Keadaan demikian menjamin tercapainya keseimbangan antara tujuan material dan spiritual, sehingga secara individual tercapai kepuasan batin yang sempurna.
    Menurut Aristoteles (384-322 SM), Tujuan terakhir perbuatan manusia dan yang diinginkan oleh semua manusia adalah kebahagiaan (eudaimonia). Kebahagian yang tertinggi bagi manusia terletak dalam perwujudan dan kesempurnaan dari perbuatan itu sendiri. Menurut aristoteles, ada dua macam keutamaan, yaitu keutamaan akal (dianoetikai) dan keutamaan etis (etikai). Keutamaan akal menyangkut cara berfikir yang tepat, yang nilainya lebih tinggi daripada keutamaan etis. Keutamaan ini terdiri dari lima hal yaitu phronesis atau dasar kesusilaan, tehne atau kecapan seni, episteme atau ilmu pengetahuan, nus atau pengertian asas dan sophia atau kearifan. Akal, rasa, kehendak berperan dalam perbuatan susila. Akal memberikan norma terhadap perbuatan yang tepat dan susila, kehendak menetapkan pilihan yang baik dan rasa menyesuaikan kepada kehendak dan akal sehingga manusia merasa senang terhadap perbuatan yang dilakukan. keutamaan kesusilaan terletak diantara dua kutub yang saling berlawanan, yaitu hyperbole dan eleipsis. Hyperbole ialah terlalu banyak, dan eleipsis terlalu sedikit. Keutamaan yang terletak ditengah bersifat dinamis, senantiasa menuju kesempurnaan yang lebih tinggi. Pertengahan yang tepat berarti kesesuaian perbuatan dengan norma kesusilaan yang diberikan oleh akal.

    Tantangan global

                 Pertanyaan yang kemudian muncul adalah bagaimana membentuk dan menjaga keseimbangan tujuan hidup dalam tantangan hidup dan perkembangan teknologi yang sangat pesat. Perubahan politik, sosial, budaya dan ekonomi yang terjadi di Indonesia telah berimplikasi sangat luas pada peri kehidupan masyarakat dalam berbangsa, bernegara, bermasyarakat, maupun dalam kehidupan sosial-budaya dan ekonomi. Pada era global, peningkatan daya saing menjadi hal yang utama. Dalam konteks pengembangan kemampuan keilmuan (knowledge based development) di era global kita tidak dapat terlepas dari perkembangan IPTEK. Kemudian muncul pertanyaan bagaimanakah kita memanfaatkan perkembangan IPTEK yang sesuai dengan tuntutan bidang dan kebutuhan ?. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang sedemikian pesat merupakan potensi yang sangat positif bagi upaya-upaya pengembangan dan penyebaran informasi dan ilmu pengetahuan. Pada awal perkembangannya Ilmu pengetahuan, ilmu timbul dari usaha manusia untuk memahami alam yang kemudian diterapkan untuk memenuhi keingintahuan manusia. Ilmu pengetahuan awalnya hanya sekedar mendeskripsikan suatu realita dan tidak memanipulasikannya, sehingga lebih bersifat teori. Teknologi sebagai praksis ilmu pengetahuan di sisi lain pada mulanya diciptakan manusia dalam kebudayaanya bertujuan untuk meringankan pekerjaan manusia dan mencapai tujuan hidup.
     D. Callahan dalam Zubair (1997) membedakan teknologi dalam 5 tipe. Klasifikasi tersebut dimaksudkan untuk melihat potensi berbagai teknologi sekaligus memahami dampaknya atas kehidupan manusia. Kelima teknologi tersebut adalah: (1) Teknologi konservasi; membantu kita menyesuaikan diri dengan alam dan bertahan hidup dalam aneka macam lingkungan; (2) Teknologi perbaikan, yang memungkinkan kita memenuhi kebutuhan kita atau melampaui batas kemampuan alamiah kita; (3) Teknologi implikasi, bertujuan membantu dalam implementasi teknologi-teknologi lain misalnya komputer; (4) Teknologi destruktif, dirancang dengan maksud utama penghancuran. Teknologi ini dapat mencapai tujuannya melalui manipulasi kontrol atau hanya dengan kemampuan untuk memusnahkan; (5) Teknologi kompensatoris, teknologi yang digunakan untuk membantu menangani efek-efek teknologi lain atas kehidupan manusia.
    Mencermati klasifikasi teknologi ini tentunya kita harus mampu memilih dan memilah dalam pemanfaatan dan penggunaan teknologi bagi kemaslahatan umat manusia. Dimensi "moralitas” dan pemanfaatan teknologi seharusnya semakin menundudukkan manusia ke fitrah-Nya.  IPTEK secara ideal seharusnya berguna dalam dua hal, yaitu membuat manusia menjadi rendah hati karena semakin memberikan kejelasan tentang posisinya di alam jagad raya ini, kedua mengingatkan kita bahwa kita masih "bodoh” atau banyak sekali hal yang belum kita pahami dan perlu kita pelajari dari fenomena alam. Keterbatasan IPTEK mengingatkan manusia untuk tidak hanya mengekor secara membabi buta dan mengabdikan diri pada teknologi, sebab IPTEK saja tidak cukup menyelesaikan masalah kehidupan yang harus diwarnai oleh dimensi moral. Kemajuan IPTEK dengan demikian memerlukan visi moral yang tepat dalam implementasi atau penerapannya. Sesungguhnya manusia dengan perkembangan IPTEK akan mampu berbuat apa saja, namun pertimbangan yang penting adalah apa yang harus diperbuat dengan IPTEK dan apa yang seharusnya diperbuat dalam kerangka kedewasaan "kematangan hidup” manusia.

     Penyikapan  terhadap Perkembangan IPTEK

                 Setiap manusia diberikan hidayah dari Allah SWT berupa "alat” untuk mencapai dan membuka kebenaran. Hidayah tersebut adalah (1) indera, untuk menangkap kebenaran fisik, (2) Naluri, untuk mempertahankan hidup dan kelangsungan hidup manusia secara probadi maupun sosial, (3) pikiran dan atau kemampuan rasional yang mampu mengembangkan kemampuan tiga jenis pengetahuan akali (pengetahuan biasa, ilmiah dan filsafi). Akal juga merupakan penghantar untuk menuju kebenaran tertinggi, (4) imajinasi, daya khayal yang mampu menghasilkan kreativitas dan menyempurnakan pengetahuannya, (5) hati nurani, suatu kemampuan manusia untuk dapat menangkap kebenaran tingkah laku manusia sebagai makhluk yang harus bermoral. 
    Dalam menghadapi  perkembangan budaya manusia dengan perkembangan IPTEK yang sangat pesat, dirasakan perlunya mencari keterkaitan antara sistem nilai dan norma-norma Islam dengan perkembangan tersebut. Menurut Ghulsyani (1995), dalam menghadapi perkembangan IPTEK ilmuwan muslim dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok; (1) Kelompok yang menganggap IPTEK moderen bersifat netral dan berusaha melegitimasi hasil-hasil IPTEK moderen dengan mencari ayat-ayat Al-Qur’an yang sesuai; (2) Kelompok yang bekerja dengan IPTEK moderen, tetapi berusaha juga mempelajari sejarah dan filsafat ilmu agar dapat menyaring elemen-elemen yang tidak islami, (3) Kelompok yang percaya adanya IPTEK Islam dan berusaha membangunnya. Untuk kelompok ketiga ini memunculkan nama Al-Faruqi yang mengintrodusir istilah "islamisasi ilmu pengetahuan”Dalam konsep Islam pada dasarnya tidak ada pemisahan yang tegas antara ilmu agama dan ilmu non-agama. Sebab pada dasarnya ilmu pengetahuan yang dikembangkan manusia merupakan "jalan” untuk menemukan kebenaran Allah itu sendiri. Sehingga IPTEK menurut Islam haruslah bermakna ibadah. Yang dikembangkan dalam budaya Islam adalah bentuk-bentuk IPTEK yang mampu mengantarkan manusia meningkatkan derajat spiritialitas, martabat manusia secara alamiah. Bukan IPTEK yang merusak alam semesta, bahkan membawa manusia ketingkat yang lebih rendah martabatnya. 
                   Dari uraian di atas "hakekat” penyikapan IPTEK dalam kehidupan sehari-hari yang islami adalah memanfaatkan perkembangan IPTEK untuk meningkatkan martabat manusia dan meningkatkan kualitas ibadah kepada Allah SWT. Kebenaran IPTEK menurut Islam adalah sebanding dengan kemanfaatannya IPTEK itu sendiri. IPTEK akan bermanfaat apabila (1) mendekatkan pada kebenaran Allah dan bukan menjauhkannya, (2) dapat membantu umat merealisasikan tujuan-tujuannya (yang baik), (3) dapat memberikan pedoman bagi sesama, (4) dapat menyelesaikan persoalan umat. Dalam konsep Islam sesuatu hal dapat dikatakan mengandung kebenaran apabila ia mengandung manfaat dalam arti luas.

    Doktor Bidang Urban and Regional Planning, Dekan Fakultas Teknik , dosen jurusan Arsitektur Unmer Malang
    Catatan: migrasi site pada tanggal 29/10/2009
     
    Views: 6635 | Added by: rwickan | Rating: 2.0/1
    Bagikan