2024-03-29
6:10 PM
Beranda Respati Wikantiyoso
Site menu |
Login form |
Sugar ticket oz
Since December 1st 2009
Search |
Calendar | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
Entries archive |
Our poll |
Site friends |
Statistics |
Total online: 1 Guests: 1 Users: 0 |
Create Your Badge
7:13 AM Pembangunan versus Pelestarian suatu “Dilema” Pembangunan Kota Malang ? |
Pembangunan sebagai suatu upaya untuk meciptakan/mengembangkan kota menjadi lingkungan yang nyaman baik untuk kepentingan ekonomi, sosial-budaya (tempat hidup komunitas kota). Kota yang selalu berkembang baik secara alamiah maupun melalui proses perencanaan dan perancangan, dihadapkan pada permasalahan tidak tercapainya kondisi "ideal” akan tuntuntan kebutuhan tujuan pembangunan tersebut. Ada tiga orientasi pembangunan yang seharusnya diperhatikan dalam melakukan proses pembangunan, yakni; orientasi pada pengembangan fisik (development orientation); orientasi pada komunitas (community orientation) dan orientasi pada konservasi (conservation orientation). Kepentingan pembangunan menjadi hal yang sangat menentukan dalam keberhasilan/kegagalan "intervensi fisik” pembangunan kota. Sebagai suatu proses, pembangunan kota (baik secara parsial; pembangunan satu gedung maupun menyeluruh dalam bentuk perancangan kawasan dan/atau kota) seharusnya disadari merupakan suatu tindakan menambah/ merubah dan/atau menghilangkan yang lama untuk menghadirkan sesuatu yang "baru” untuk "memperbaiki” kondisi sebelumnya. Apakah tujuan membangun dalam rangka "memperbaiki” tersebut tersebut tercapai (dalam kerangka 3 orientasi tersebut) ? Ini yang seharusnya menjadi perenungan kita bersama mulai pada saat penetapan rencana, proses perancangan bahkan pada tahapan pelaksanaan dan operasional suatu proyek pembangunan. Orientasi pembangunan (baca: kepentingan) seperti ke-tiga orientasi disebutkan di atas memiliki makna yang luas, dan sangat interpretatif. Artinya apa sebenarnya tujuan (kepentingan) yang akan diprioritaskan dalam melakukan berbagai bentuk "intervensi fisik” yang berbaju "pembangunan” tersebut ? Sehingga sering kita dihadapkan pada suatu kenyataan bahwa intervensi (baca: pembangunan) merupakan pembangunan atau perusakan (lingkungan); pembangunan atau penggusuran; bahkan sering dipertentangkan antara pembangunan versus pelestarian. Kenyataan ini membawa kita pada posisi "dilema” atau kalau boleh meminjam istilah panitia "berada di persimpangan jalan” atau ada pada beberapa pilihan. Dalam hal ini apakah kita harus bimbang? Atau tetap kepada keteguhan prinsip untuk tetap mempertahankan yang lama dengan upaya pelestarian bahkan melakukan konservasi. Disini diperlukan suatu "kearifan” sikap dan "keaifan” disain untuk bisa "memilah” dan "memilih” dengan tetap memperhatian tiga pilar orientasi pembangunan seperti diuraikan di atas. Pendakatan-pendekatan baru dalam pembangunan fisik telah banyak dilakukan seperti sutainable development, pembangunan yang kontekstual, pembangunan yang partisipatif dan lain-lain, tetapi yang diperlukan adalah suatu konsepsi konkrit yang lebih operasional terhadap upaya-upaya pembangunan kota. Dalam proses perkembangannya kota-kota kita di Indonesia mempunyai permasalahan yang sama, berkisar kepada dominasi kepentingan pertumbuhan ekonomi sebagai mainset perkembangan fisik kota. Hal ini yang perlu dicarikan suatu solusi atau treatment bagaimana kekuatan-kekuatan perkembangan kota itu masih bisa di-drive untuk "mengendalikan” perkembangan fissik kota yang relatif tidak terkendali/terarah proses perkembangannya. Jawaban singkat adalah perlu "law inforcement” dan political will dari pengambil kebijakan pengembangan kota (pemerintah kota), yang didasarkan atas kemampuan teknis aparat dan perangkat yang mendukung. Produk perangkat peraturan yang berkaitan dengan perkembangan kota rasanya baru menyentuh pada pengatran yang bersifat spatial (2 dimensi), sementara bangunan arsitektur dan lingkungan binaan lainnya merupakan produk yang 3 (tiga) dimensi (form and space). Sehingga tuntutan terhadap perangkat pengendali perkembangan kota dalam bentuk panduan rancang kota (Urban Design Guide Lines) sangat diperlukan. Produk panduan rancang kota yang mendekati kebutuhan ini adalah RTBL (Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan). Produk-produk panduan rancang kota ini sebenarnya yang bisa cukup operasional men-drive perkembangan fisik kota secara 3 dimensi. Keterbatasan-keterbatasan produk panduan semacam inilah yang sering menyebabkan terjadinya "dilema” dalam menentukan upaya konkrit, bahkan sering memunculkan pertentangan pembangunan atau pelestarian. Karena sifatnya yang sangat lokal, RTBL ataupun produk lain sebagai perangkat pengendali perkembangan kota (UDGL), maka kajian-kajian spesifik kawasan sangat diperlukan. Potensi spesifik fisik kawasan tertentu akan menentukan jenis perlakuan tertentu yang spesifik.
Peraturan pertama yang mengatur tentang ketentuan hukum perkotaan adalah "De statutten van 1642", merupakan peraturan produk V.O.C. yang isinya mengatur pembangunan jalan, jembatan, bangunan serta menentukan wewenang dan tanggung jawab dewan kota. Peratuan ini relatif lengkap karena telah mencakup tata ruang kota, garis sempadan, pemeliharaan saluran air dan sebagainya. Dalam peraturan telah digariskan pedoman utama dalam penataan kota, baik dari aspek keamanan, kesehatan lingkungan, serta lalu lintas beserta pedoman bagi penguasa dalam melaksanakan peraturan tersebut dalam praktek (Marbun,B.N., 1979). Penyesuaian sistem pemerintahan Belanda yang dilakukan pada tahun 1903, dengan diterbitkannya Decentralisatie Wet (Ind. Slbl. No. 329) pemerintah Belanda memberi otonomi kepada daerah dengan hak-hak antara lain; menetapkan anggaran belanja sendiri, dan menetapkan peraturan lokal dengan persetujuan Gubernur Jendral. Undang-undang desentralisasi yang mendasari terbentuknya sistem pemerintahan kotapraja (stads gemeente), "Decentralisatie Besluitt Indische Staatblad 1905/137, semakin mendorong berlangsungnya otonomi pemerintah daerah atau pemerintahan kotapraja. Pada tahun yang sama (1905), pemerintah Belanda mengeluarkan peraturan khusus yang mengatur perkotaan yakni; Localen raden ordonantie, Staatsblaad 1905 No.181, yang memberi wewenang kepada dewan rakyat daerah dan kota untuk menentapkan ketentuan peraturan bangunan lokal. Tahun 1919 di Batavia ditetapkan Bataviasche Bouwver-ordening yang direvisi pada tahun 1941. Untuk kota Bandung pada tahun 1929 diterbitkan Bouwverordening van Bandoeng, sedangkan untuk kota Palembang mulai diatur penataan kotanya pada tahun 1943, dengan dikeluarkannya Bouwverordening Stadsgemeente Palembang. Pedoman yang mengatur persyaratan kota baik dari segi tempat tinggal, transportasi, lapangan kerja, maupun tempat rekreasi telah diatur pada Stadsverordenings ordonantie Stadgemeenten Java 1938. Bahkan pada tahun 1941 melalui Kringen en Typen Verordening, telah diatur tindak lanjut pembangunan dalam areal kota yang telah ditentukan peruntukannya (Marbun, B.N, 1979). Kota Malang sudah ada sejak tahun 1400-an tetapi baru berkembang dengan pesat sebagai kota modern sesudah tahun 1914, yaitu sesudah kota Malang di tetapkan sebagai kotapradja (Gemeente). Hal ini di sebabkan adanya investasi secara besar-besaran dalam bidang infra struktur dan komunikasi di Hindia - Belanda yang dilakukan oleh pemerintah Belanda dan pihak swasta setelah tahun 1870. Ada beberapa keputusan politik yang berpengaruh terhadap perkembangan kota Malang. Yang pertama adalah dengan di keluarkannya undang-undang gula (suikerwet) dan UU agraria (agrarischewet) pada tahun 1870. yang kedua adalah akibat dikeluarkannya UU desentralisasi pada tahun 1903, yang baru dilaksanakan pada tahun 1905. Kesuksesan perkembangan kota Malang tak lepas dari kerja sama yang baik antara walikota pertama, H.I. Bussemaker dan penggantinya Ir. EA. Voorneman, PU kotamadya serta Thomas Karsten sebagai adviseur (penasehat). Pihak pemerintah kota mengontrol perkembangan kota dengan mengatur perencanaan perluasan kota yang dibagi menjadi 8 bagian, yaitu masing-masing disebut sebagai Bouwplan I s/d Bouwplan VIII. Perkembangan kota Malang secara historis dapat dilihat dari perkembangan wilayah terbangunnya. Pengembangan Malang sebagai entitas komunitas "moderen” dengan tetap memperhatikan kondisi sosio-kultural lokalitas yang kental telah menghasilkan "lingkungan” kota yang kontekstual. Salah satu "produk” arsitekturnya adalah indish style yang mampu memberikan "warna” pada disan-disain kawasan kota-kota di Indonesia termasuk Malang. Sebagai salah satu mata rantai sejarah fisik kota, adalah tidak berlebihan kalau kita mau mempelajari serta "menyerap” konsepsi-konsepsi disain kawasan, kota, dan/atau arsitekturnya. Idjen Boulevard merupakan salah satu hasil rancangan kawasan kota yang sarat akan konsepsi ruang, bangunan, dan townscape. Pemahaman konsep melalui ulasan disain akan semakin memperkaya wawasan, "pengalaman visual” serta pemahaman akan potensi visual kawasan yang sangat diperlukan oleh pelaku pembangunan (masyarakat kota, birokrat, dan pengembang). Kawasan Idjen Boulevard didisain pada masa pemerintahan kolonial Belanda antara tahun 1919-1929 pada masa HI Bussemaker sebagai walikota Malang. Kawasan ini sarat akan konsepsi-konsepsi penataan ruang kawasan, yang apabila secara arif dapat dikaji kita akan mendapatkan beberapa pelajaran berharga untuk referensi disain kawasan sejenis di masa mendatang. Perjalanan sejarah dengan berbagai tekanan akan tuntutan kebutuhan ruang kawasan, serta perubahan gaya hidup masyarakat yang mendiami kawasan ini sedikit banyak telah memacu berlangsungnya perubahan-perubahan. Perubahan-perubahan yang terjadi merupakan konsekwensi logis dari adanya pertumbuhan dan perkembangan kehidupan masyarakatnya. Mempelajari bentuk morfologi kawasan Idjen Boulevard menjadi sangat signifikan mengingat potensi-potensi disain yang melekat dalam keseluruhan konteks kawasan. Beberapa aspek penting yang perlu diperhatikan serta dipelajari dalam studi morfologi antara lain aspek historis kawasan, aspek kecenderungan perkembangan, aspek disain (bangunan, tata lingkungan, penataan jalur hijau, maupun townscape), serta aspek regulasi (usaha-usaha terhadap upaya penataan dan atau pengaturan) dalam mengantisipasi tuntutan perkembangan kota. Keempat aspek tersebut merupakan aspek utama yang harus diperhatikan dalam penanganan perancangan kawasan dan/atau perancangan kota (Urban Design). Boulevard merupakan konsep disain yang paling populer dan banyak dipakai sebagai akses jalan utama pada pengembangan kota taman (garden city). Akses jalan dibuat dua lajur dengan tata taman yang relatif lebar pada median jalan. Karakteristik jalan yang demikian secara visual memberikan kesan dominasi akses kawasan. Dalam kasus idjen boulevard kesan visual ini masih di tunjang dengan adanya jalur pedestrian di sisi kiri dan kanan jalan dengan tata tanam yang khas (mengunakan tanaman Palem Raja). Kesan visual yang terbentuk menjadi demikian atraktif dengan pola tanam yang memiliki ritme yang sama (jarak 8 meter) serta besar tanaman yang relaitif sama. Karakter visual lingkungan idjen boulevard, didominasi tata hijau dibagi menjadi 2 bagian penggal yakni; antara jl. Kawi s/d tugu melati (perempatan jln semeru); dan penggal tugu melati sampai dengan Gereja Santa Maria Bunda Karmel (Idjen). Kedua penggal jalan tersebut di awali dan/atau diakhiri dengan persimpangan jalan, dengan karakteristik disain tata lingkungan yang berbeda, seolah berusaha untuk menghindarkan "keseragaman” vista lingkungan. Penyelesaian disain yang demikian bertujuan untuk meberikan "pengkayaan” visual sepanjang jalur jalan boulevard. Penyelesaian tata jaringan jalan yang demikian menyebabkan bervariasinya tipologi townscape serta tipologi kapling di setiap sudut persimpngan jalan. Kondisi ini membawa implikasi pada disain bangunan sudut menjadi lebih variatif dan spesifik di setiap penggal kawasan. Pola grid sama sekali tidak ditemukan pada pengembangan kawasan idjen boulevard. Tipical penggunaan pola grid pada kota-kota kolonial di Indonesia biasaya ditemukan pada bagian selatan kota yang didominasi oleh komunitas pribumi. Demikian juga yang terjadi di kota Malang, kawasan idjen boulevard yang terletak di bagian utara dan didominasi serta diperuntukan bagi komunitas non-pribumi, dengan klas ekonomi menengah ke-atas. Konsepsi pengembangan kota Malang pada waktu itu yang dimotori oleh Karsten, memang tidak didasarkan atas segregasi sosial (etnik tertentu), tetapi lebih kepada kelas status sosial. Kawasan idjen boulevard perancangannya memang ditujukan untuk kelas atas, sehinga tipologi rumah villa dengan halaman depan yang relatif luas merupakan inti pola pemukiman di kawasan idjen. Trend tipologi lingkungan seperti kawasan idjen saat ini mulai muncul kembali pada pemukiman-pemukiman baru yang memiliki segment pasar menengah ke atas. Pengolahan lingkungan dengan tata taman dan lingkungan (townscape) yang didominasi vegetasi, dan pengkayaan tipologi kapling hunian yang bervariasi. Pemanfaatan potensi lingkungan alamiah sangat menonjol. Hal ini ditunjukkan dengan "membuka” ruang yang cukup untuk menghadirkan vista "putri tidur” dengan taman "indrokilonya” (sekarang telah berubah menjadi pemukiman elite). Kondisi idjen boulevard saat ini pada beberapa bagian sudah mengalami perubahan. Peremajaan tanaman palem raja, serta perubahan disain rumah di kawasan idjen boulevard saat ini telah terjadi. Untuk menjaga kelestarian visual kawasan diperlukan suatu pendekatan yang komprehensif agar kawasan ini dapat terjaga kelestariannya. Peremajaan yang kurang memperhatikan konsep awalnya menimbulkan perubahan yang kurang sesuai, hal ini dapat dilihat pada kondisi vegetasi di sisi jalan, pedestrian serta tampilan bangunan. Perubahan yang terjadi terlihat tidak terencana dengan baik hal ini karena tidak adanya regulasi yang jelas dalam usaha pelestarian kawasan ini. Hal yang cukup memprihatinkan, mengingat Idjen Boulevard merupakan salah satu contoh penataan kawasan yang sangat memperhatikan potensi-potensi lingkungan sebagai unsur disainnya. Idjen Boulevard juga merupakan sebuah referensi yang sangat relevan dalam konteks penataan sebuah kawasan saat ini. Perubahan dapat dilihat dari kondisi palem raja di sisi jalan. Palem raja sebagai salah satu unsur utama dari Idjen Boulevard mengalami perubahan yang disebabkan karena adanya peremajaan yang dilakukan. Peremajaan yang seharusnya dapat menyegarkan suasana Idjen dilakukan dengan tanpa memperhatikan aturan-aturan yang ditetapkan oleh Herman Thomas Karsten. Aturan tersebut meliputi pada jenis palem, ukuran dan jarak tanam. Pohon-pohon palem ditanam diantara pohon lama sehingga jarak tanam yang sebelumnya berjarak 8 m menjadi tidak beraturan. Selain itu perbedaan ukuran antara palem lama dan baru sangat tampak. Perbedaan ketinggian serta jarak tanam mengurangi kesan ruang dari Idjen Boulevard sebagai foreground dari deretan pegunungan Kawi. Sebenarnya peremajaan vegetasi sangat diperlukan karena dengan cara inilah Idjen Boulevard dapat dipertahankan, tetapi peremajaan yang dilakukan harus tetap mengacu pada konsep awal rancangan kawasan ini. Perawatan dan penataan taman saat ini hanya dilakukan pada taman di median jalan. Sedangkan perawatan taman di sisi jalan diserahkan pada pemilik rumah, tetapi tidak semua pemilik rumah menjaga kondisi taman dengan serius. Seharusnya vegetasi yang diijinkan di luar pagar hanyalah rumput sebagai ground cover dan penyerap air hujan. Tetapi pada beberapa bagian terdapat vegetasi-vegetasi, seperti palem merah dan jenis perdu-perduan, yang ditanam di bagian luar pagar. Pada bagian lain, kondisi taman tampak tidak terurus karena penghuni rumah yang seharusnya berkewajiban memelihara tidak tinggal di situ lagi. Perbedaan perlakuan bagi taman di Idjen Boulevard disebabkan tidak adanya pemahaman bahwa taman pada kawasan ini, baik di tengah maupun di sisi jalan, merupakan satu kesatuan dari disain kawasan. Jalur Pedestrian Pengendalian terhadap kualitas disain kawasan termasuk kualitas disain Pedestrian sangat diperlukan. Perlu disosialisasikan tentang kedudukan pedestrian beserta unsur pembentukknya (grass cover) merupakan domain publik (public domain), sehingga "batas” kepemilikan pribadi (batas kapling) tidak mempengaruhi bentuk disain maupun kualitas dan kuantitas visual pedestrian. Panduan perancangan jalur pedestrian menjadi sangat penting. Secara keseluruhan sebenarnya kawasan idjen boulevard memerlukan pengaturan yang khusus dengan penetapan kawasan dengan perangkat "exclusionary zonning” untuk menjamin Visual performance lingkungan tetap terjaga. Menurut Truman Asa Hartshorn (1980:226), dalam Interpreting The City: An Urban Geography, yang dikutip Wikantiyoso, R (2004), bahwa Exclusionary Zonning bisa diterapkan untuk menentukan standart performance, dalam rangka untuk mempertahankan ekslusivitas dan keseragaman suatu kawasan. Tipologi hunian di sepanjang Idjen boulevard adalah tipologi rumah Villa dengan halaman depan rumah yang relatif luas. Disain kapling relatif bervariasi sebagai kosekwensi dari pengolahan tata taman yang mendominasi kawasan. Kondisi ini menyebabkan disain bangunan menjadi relatif beragam, baik dari sisi besaran bangunan, orienasi, maupun bentuknya. Keadaan ini semakin memperjelas bahwa disain kawasan benar-benar telah diolah sedemikian rupa sehingga "vista” (scane) pada setiap penggal kawasan memiliki kekhasannya sendiri. Penyelesaian disain yang demikian sebenarnya merupakan suatu "jawaban” atas pertanyaan bagaimana mendisain suatu kawasan/bagian kota supanya memiliki "lokalitas” yang spesifik. Tampilan bangunan di sekitar Idjen Boulevard pada awalnya didominasi oleh karya arsitektur bergaya kolonial dengan tipe rumah villa. Bangunan rumah-rumah tinggal tersebut merupakan karya dari beberapa arsitek pada jaman kolonial, diantaranya adalah Ir Herman Thomas Karsten dan Henri Estourgie. Menurut Han Awal (2002), ekslusifitas kawasan idjen boulevard ini memang terlihat sejak awal dengan hanya diperkenankannya 8 arsitek yang merancang bangunan di kawasan ini. Seiring perkembangan kota Malang yang pesat, rumah-rumah tinggal tersebut tidak sedikit yang telah mengalami perubahan. Fenomena perubahan yang terjadi apabila tidak dilakukan pengendalian, maka bukan tidak mungkin karakter spesifk kawasan idjen boulevard akan hilang. Diperlukan guideline yang mampu untuk menjaga kualitas visual kawasan. Pemahaman kualitas visual menjadi sangat penting bukan hanya sekedar pelestarian bentuk bangunan, tetapi pemahaman secara totalitas disain kawasan. Seperti telah di illustrasikan bahwa pola jalan kawasan Idjen boulevard dengan pola organik–non grid, dengan menghadirkan "taman” hampir pada setiap persimpangan jalan. Pola sirkulasi di buat berjenjang, pola boulevard pada jalur utama dan jalan-jalan lingkungan yang berada di "dalam” kawasan diperkuat kesan ruangnya dengan menghadirkan beberapa taman seperti taman Slamet, taman buring, taman cerme dll. Konsep peancangan sirkulasi seperti ini, mendudukkan ruang jalan hanya sebagai jalur sirklasi saja tetapi juga ditujukan untuk menghadirkan "vista” lingkungan yang lebih bervariasi. Hal ini bisa berhasil karena setiap disain "taman” memiliki karakteristik dan tujuan yang berbeda. Selain berfungsi sebagai "pemecah” sirkulasi tetapi juga untuk memperkuat kesan-kesan visual tertentu. Bisa kita rasakan penggunaan pola boulevard di Jalan Raya Idjen berbeda dengan boulevard menuju SMA Dempo. Eksklusifitas disain kawasan idjen boulevard terlihat juga dari disediakannya jalus pedestrian pada dua sisi sepanjang jalur Idjen boulevard. Konsepsi tata ruang luar dengan pendekatan yang komprehensif dari beberapa aspek; aspek sirkulasi, aspek ekologis, estetika serta "penyatuan” panorama lingkungan dalam disain kawasan sangat terasa. Salah satu contoh konsepsi yang patut untuk di pertahankan eksistensinya. Diperlukan upaya-upaya kongkrit bukan hanya berupa perda yang mengatur secara verbal, tetapi perangkan urban design guide line yang menyentuh aspek-aspek disain fisik ruangnya. Kawasan Idjen Boulevard dalam "tekanan” Perubahan Rasanya konotasi sub judul di atas sangat berlebihan. Akan tetapi dalam konteks perubahan hal ini perlu untuk menyikapi secara positif dan arif dalam rangka mendapatkan solusi untuk "mempertahankan” image Idjen Boulevard sebagai salah satu icon kota Malang. "Tekanan” perubahan idjen Boulevard bukan hanya datang dari perubahan fisik sepanjang Idjen Boulevard saja, tetapi juga dari sekitar kawasan Idjen. Seperti kita ketahui dalam waktu yang tidak terlalu lama akan muncul sebuah; lingkungan baru, aktifitas baru, arsitektur baru dengan karakter baru, bahkan image baru di dekat Idjen Boulevard, dengan hadirnya MOG (Malang Olimpic Garden). Arsitektur baru dengan "skala” aktifitas yang cukup besar, sedikit banyak akan memberikan "tekanan” perubahan yang cukup signifikan dalam jangka panjang. Kondisi kawasan Idjen Boulevard saat ini telah mengalami perubahan yang cukup besar, hal ini bisa dilihat dari foto udara kawasan Idjen Boulevard antara tahun 1946-2004 (lihat gambar 8). Alih fungsi beberapa bagian kawasan secara pelan dan pasti telah dan akan terus terjadi. Hal ini harus disadari sebagai suatu proses perkembangan kota. Sekali lagi apa yang harus dilakukan oleh pengelola kota, serta komunitas kotanya ? Jawabnya adalah mempersiapkan perangkat yang mampu "mengendalikan” perkembangan kawasan/kota sesuai dengan "prioritas” kepentingan (baca: orientasi pengembangan); development orientation; conservation orientation dan/atau community orientation seperti di uraikan di depan. Urban design guide line kawasan Idjen Boulevard sudah menjadi kebutuhan untuk "menjaga” kelestarian, potensi spesifik kawasan sebagai salah satu icon kota Malang. Catatan Penutup Malang dengan berbagai potensi bangunan dan/atau kawasannya memerlukan pedoman standar pelestarian dan perlindungannya untuk setiap kawasan di Kota Malang, yang menuntut perlakuan tidak sama. Karakteristik obyek yang berbeda diperlukan klasifikasi bangunan kuno-bersejarah dan kriteria fisik-visualnya sangat tergantung pada nilai-nilai yang dikandung (nilai historis, nilai keilmuan, nilai kultural dll). Kategori obyek sangat menentukan langkah-langkah konkrit pada upaya menjaga kelestarian bangunan dan/atau kawasan tersebut. Kajian terhadap bangunan dan/atau kawasan harus dilakukan secara konprehensif untuk menetapkan kebijakan preservasi, konservasi, atau demolisi. Dalam tahapan implementatif perlu law inforcement dengan kelengkapan UDGL (urban design guide lines) yang mampu men-drive upaya kelestariannya didalam "tekanan” perubahan yang sangat kuat. Pembahasan tentang perancangan kawasan khusus seperti halnya kawasan idjen bouevard ini tentunya bertujuan bukan hanya untuk mengagumi "keelokan” atau keindahan disain kawasan, tetapi lebih kepada menggali konsepsi-konsepsi disain kawasan. Upaya menjaga kelestarian kawasan idjen boulevard memang telah dilakukan, dengan upaya regenerasi tanaman baru, tetapi tidak/kurang memperhatikan konsep penataan (jarak tanam, besar tanaman) sehingga kualitas visual sangat memprihatinkan. Disini diperlukan upaya-upaya kongkrit yang mengarah kepada penataan fisik dalam bentuk pemberlakuan UDGL (urban design guide lines) atau panduan rancang kota yang mampu menjaga kualitas visual kawasan secara menyeluruh meliputi tata taman, jalur pedestrian maupun tata bangunan di kawasan idjen boulevard. Upaya partisipatif dalam "pengelolaan” ruang terbuka pada zona publik memang perlu untuk efisiensi anggaran pemerintah kota dalam pemeliharaan taman kota. Tetapi hal ini harus di drive dengan perangkat pengaturan seperti UDGL yang mampu menjadi panduan operasionalnya. Secara keseluruhan sebenarnya kawasan idjen boulevard memerlukan pengaturan yang khusus dengan penetapan kawasan dengan perangkat "exclusionary zonning” untuk menjamin Visual performance lingkungan tetap terjaga. Exclusionary Zonning bisa diterapkan untuk menentukan standart performance, dalam rangka mempertahankan ekslusivitas dan keseragaman suatu kawasan (Truman Asa Hartshorn, 1980:226). Semoga catatan-catatan penutup ini dapat memberikan wawasan baru dalam memahami disain kawasan serta menjadi acuan dalam upaya penataan kawasan idjen boulevard khususnya. |
|