Welcome Guest
Friday
2024-04-19
1:17 PM

Beranda Respati Wikantiyoso

Site menu
Login form



Your Visitors Number:


Sugar ticket oz

Since December 1st 2009

Search
8
Calendar
«  October 2009  »
SuMoTuWeThFrSa
    123
45678910
11121314151617
18192021222324
25262728293031
Entries archive
Our poll
Rate my site
Total of answers: 37
Site friends
  • Create your own site
  • Statistics

    Total online: 1
    Guests: 1
    Users: 0
    Local Wisdom

    Create Your Badge


    BARU TERBIT


    BUKU BARU: LOCAL WISDOM
    Baca Kata Pengantar

    'City is not a Problem, City is Sollution'(Jaime Lerner)







    Web Badan Pengembangan dan Penaminan Mutu Unmer
    Main » 2009 » October » 29 » CITRA KAJOETANGAN DOELOE DAN SEKARANG
    8:35 PM
    CITRA KAJOETANGAN DOELOE DAN SEKARANG

    Kajoetangan, satu kata yang dahulu tidak asing bagi kera Ngalam (baca: Arek Malang), bagaimana kini? Sekarang mungkin istilah Kajoetangan kurang atau bahkan sudah tidak dimengerti oleh orang Malang. Hal ini bisa terjadi karena nama Kajoetangan telah diganti dengan nama Basuki Rachmat. Perubahan ini boleh dianggap sesuatu yang sepele atau remeh akan tetapi sebenarnya membawa konsekwensi yang cukup signifikan terhadap pemahaman (baca; citra) spesifik suatu kawasan. Nama Kajoetangan dahulu menggambarkan suatu kawasan yang spesifik, daerah perdagangan yang elite dan nyaman untuk berbelanja atau sekedar uklam-uklam (jalan-jalan). Tetapi sekarang bahkan kata tersebut "hampir” terlupakan, karena penyebutannya-pun telah jarang digunakan oleh orang Malang.
    Citra kawasan tidak terlepas dari pemahaman "image” tentang sesuatu yang ada atau pernah ada/melekat pada kawasan tersebut. Walaupun ada istilah apa arti sebuah nama? Tetapi nama Kajoetangan dan nama-nama lokal Malang yang lain seperti Tjlaket, Klodjen"image” atau pengenalan obyek-obyek fisik (bangunan dan elemen fisik lain) maupun obyek non fisik (aktifitas sosial) yang yang terbentuk dari waktu ke waktu. Aspek historis dan pengenalan "image” yang diitangkap oleh masyarakat kota menjadi penting dalam pemaknaan citra kawasan. Pergantian nama kawasan Kajoetangan yang telah "terlajur” dikenal oleh kera Ngalam dengan gambaran "image” yang melekat, tanpa sengaja menganti "image” dengan kawasan "Basuki Rachmat” seperti yang ada di kota-kota lain. Secara tidak langsung warga kota dipaksa untuk melakukan perubahan image (bahkan lingkungan fisiknya) menuju suatu keseragaman bukan mempertahankan identitas Malang. Proses perubahan nama jalan/kawasan menjadi nama nama pahlawan secara nasional (bahkan pada kota-kota kecamatan di plosok desa) tanpa disadari dapat mendorong terbentuknya "ketunggalrupaan” karakter kota-kota di Indonesia.
    Kawasan Kajoetangan terletak mulai dari perempatan Alun-alun (kotak) utara sampai dengan pertigaan Oro-oro Dowo. Kawasan Kajoetangan merupakan kawasan perdagangan kota Malang dimasa pendudukan Kolonial Belanda. Seiring dengan tumbuhnya pemukiman orang Belanda di kota Malang pada tahun 1920-an yang membutuhkan fasilitas perdagangan kota, maka tumbuhlah kawasan perdagangan elite yang ada di jalan Kajoetangan tersebut, selain itu Kajoetangan merupakan jalan yang dilewati jalur penghubung kota Malang dengan kota Surabaya sehingga daerah yang strategis untuk kawasan perdagangan.
    Pembangunan Gementee Malang waktu itu sangat pesat serta memacu munculnya gaya-gaya arsiektur bangunan baru di Malang. Di tahun 1930-an muncul bangunan yang ciri "Nieuwe Bouwen” yaitu beratap datar, gevel horizontal, dan volume bangunan berbentuk persegi empat serta berwarna putih. Bangunan sudut diolah dengan menggunakan elemen tambahan berupa menara. Seperti halnya bangunan kembar di simpang jalan Kajoetangan dengan jalan Semeroe pada tahun 1935-an didirikan komplek pertokoan yaitu toko buku "CCFT Van Dorp”, toko perhiasan "Juwiler Tan”, toko "HAZES” dan "hotel YMCA”. Empat bangunan yang dirancang sebagai pertokoan elite ini dirancang oleh seorang arsitek yang bernama "Karel Bos”. Dengan penyelesaian perancangan yang tanggap akan potensi keindahan lingkungan, yaitu membentuk bangunan sebagai gerbang vista untuk menampilkan gunung Kawi yang menjadi orientasi jalan Semeru. Pada masa ini pula berdiri bangunan pertokoan di daerah pertigaan jalan Kajoetangan dengan jalan Oro-oro Dowo yakni pertokoan "Deluxe”, juga beberapa bangunan lainnya yang pada umumnya mempunyai ciri yang sama yakni "Nieuwe Bouwen”. Setelah berakhirnya masa pendudukan Belanda di Malang banyak bangunan yang dipugar. Baik disebabkan oleh telah hancurnya bangunan tersebut saat perang kemerdekaan maupun karena alasan politis penguasa yang ingin menghilangkan kesan kekuasaan Belanda. Beberapa bangunan yang dapat menjadi "icon” dan "image”
    dan lainnya adalah satu nama yang sangat spesifik bahkan unik yang dapat menjadi satu "ciri” spesifik dan tidak terdapat di kota lain. Kekayaan Malang dengan Toponim tersebut sebenarnya merupakan aset yang harus dipertahankan dan dilestarikan untuk menjaga identitas Malang. Pencitraan spesifik (baca identitas) kawasan kota seperti halnya Kajoetangan sebenarnya tidak dapat dibangun tetapi terbentuk dengan sendirinya. Citra kawasan terbentuk dari pemahaman identitas kawasan ini antara lain:

    1. Gereja GPIB Imanuel yang terletak di sebelah utara Alun-alun. Gereja ini didirikan tahun 1880 dan pernah dibongkar, dan dibangun kembali pada tahun 1912.
    2. Gereja Katolik Hati Kudus Yesus yang didirikan pada tahun 1904. Arsitek gereja ini adalah Marius J. Hulswit. Karena kesulitan biaya dan konstruksi, maka menara pada pintu masuk dari gereja dengan gayanya gotik baru dibangun pada tanggal 17 Desember 1930. Perancang dari kedua menara ini adalah Biro Arsitek Hulswct, fermont & Ed. Cuyper dari Batavia.
    3. Perempatan jalan Kajoetangan, jalan Semeroe dan Riebeck Straat (jalan Kahuripan) dirancangan sebagai titik pusat dari sistem lalulintas kota Malang. Oleh sebab itu, Karel Bos merancang penyelesaian jalan dan gedung-gedungnya dibuat simetri dengan bentuk bangunan kembar dengan gaya "Nieuwe Bauwen” dimana bentuk bangunan menyerupai gerbang untuk menyaksikan keindahan alam yang ada yaitu Gunung Kawi. Bangunan kembar diujung jalan Semeroe ini dapat dijadikan local landmark .
    4. Daerah pertigaan jalan Oro-oro Dowo, jalan Celaket dan jalan Kajoetangan dengan pertokoan berbentuk curvalinear (melengkung) dan jam kota beserta penunjuk arah.
    5. 5. Rumah Makan "Oen”, Sejak awal berdirinya hingga kini (setelah beberapa kali renovasi), sistem tanda yang menempel pada fasade bangunan pada rumah makan ini tetap dipertahankan. Bahkan menu istimewa rumah makan oen ini beserta interior dan furniture-nya tetap dipertahankan.


    Bila kita perhatikan kawasan Kajoetangan sekarang ini, telah terjadi begitu banyak perubahan yang terjadi. Kawasan Kajoetangan yang dulu sebagai kawasan perdagangan elite, dengan pola penataan kawasan yang terlihat tertata apik dan indah, telah kehilangan karakter "identitas”-nya sebagai suatu kawasan perdagangan elite kota Malang. Bentuk Arsitektural dari bangunan yang ada dikawasan ini dulu bercirikan Arsitektur gaya Belanda di Indonesia, yaitu Indische Empire dan Neuwen Bouwen. Beberapa bangunan yang terlihat harmonis antara satu dengan lainnya, kini telah berubah menjadi bangunan perkotaan yang tampil individu dengan bentuk yang tidak lagi selaras satu sama lainnya. Fasade (muka) bangunan berubah fungsi menjadi ajang promosi yang dan/atau iklan menutup sebagian besar muka bangunan. Tidak sedikit bangunan yang telah hilang baik secara keseluruhan maupun karakteristik arsitekturalnya. Perubahan tersebut disebabkan oleh perkembangan aspek sosial-ekonomi kots yang sangat kuat menekan perubahan tersebut. Perkembangan Kajoetangan sebagai daerah perdagangan "baru” saat ini secara fisik telah mengalami perubahan karakter kawasan. Penambahan elemen pelengkapan yang berupa jembatan penyeberangan, pemasan reklame dan ketinggian bangunan pada kawasan Kajoetangan yang kurang diperhatikan menjadikan kawasan ini terkesan "semrawut” dan pada akhirnya menghilangkan citra yang khas. Saat ini pada kawasan Kajoetangan diperlukan suatu perangkat untuk mengendalikan dalam bentuk peraturan-peraturan baik berupa UDGL (Urban Design Guide Line) atau panduan rancang kota.
    Dalam usaha melestarikan bangunan lama, pemerintah perlu menerapkan sistem incentive sebagai "rangsangan” atau penghargaan bagi siapa saja yang menjaga keaslian ataupun dapat memanfaatkannya tanpa harus merusak atau membongkar bangunan yang mempunyai nilai-nilai tertentu. Pemerintah hendaknya lebih tegas dalam membuat peraturan tentang pemasangan reklame terutama pada fasade bangunan agar tampilan karakter visual kawasan Kajoetangan tertata rapi dan indah dari segi Arsitektural. (RW)

    [1] Penulis adalah Doktor bidang urban and regional planning dengan latar belakang pendidikan s1 dan s2 bidang Arsitektur, dosen Jurusan Teknik Arsitektur Universitas Merdeka Malang.

    Catatan: Ulasan ini disalin ulang karena dilakukan "migrasi" dari web lama, upload ulang tanggal 29/10/2009 tanpa ada revisi dari aslinya.

    Views: 1429 | Added by: rwickan | Rating: 0.0/0
    Bagikan